Tuan Sorba Di Jae: Parturuan anak Tuan Sori Mangaraja
Tuan Sorba Di Jae: anak Tuan Sori Mangaraja dan Si Boru Biding Laut, Generasi Ke-4 dari Si Raja Batak.

Makam Datu Pejel terletak di Parsaoran Sibisa, Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Indonesia
Source: ebatak.com
Author: Regina
Legenda Datu Pejel dan Nairasaon
Tuan Sorba Di Jae, yang dikenal juga dengan nama Datu Pejel, berasal dari Limbong. Ia berangkat menuju Sibisa untuk berburu (Marultop) sambil mencari Anduhur (binatang buruan). Sesampainya di Sibisa, Tuan Sorba Di Jae merasa usianya semakin tua. Ia kemudian melakukan semedi dan berdoa kepada Mulajadi Nabolon, memohon agar diberikan jodoh. Tidak lama setelah itu, ia mendengar suara asing, yaitu Martonun, dan segera pergi untuk mencari tahu.
Sesampainya di tempat suara itu berasal, Tuan Sorba Di Jae sangat terkejut karena meskipun sudah lama tinggal di Sibisa, ia belum pernah bertemu dengan manusia lain. Ia menyadari bahwa doanya telah dikabulkan oleh Mulajadi Nabolon. Tiba-tiba, seorang perempuan muncul di hadapannya. Perempuan ini dikenal sebagai Tantan Debata, yang berarti "Titisan Tuhan", karena ia diutus oleh Mulajadi Nabolon untuk Tuan Sorba Di Jae.
Kelahiran Sirasaon
Singkat cerita, Tantan Debata melahirkan seorang anak laki-laki yang tampak seperti kodok. Dalam bahasa Batak, diberi nama Sirasaon, yang kemudian dikenal sebagai Raja Narasaon. Tuan Sorba Di Jae, yang kecewa dengan penampilan anaknya, memutuskan untuk membuangnya ke Bara, tempat di mana kerbau mereka biasa dipelihara, dengan harapan anak tersebut akan mati diinjak kerbau.
Namun, Tantan Debata diam-diam menyelamatkan anaknya dan menyembunyikannya di Para-para (sebuah tempat di rumah mereka). Setiap kali Tantan Debata pulang dari ladang, ia terkejut melihat kayu bakar yang ia jemur sebelumnya selalu tersusun rapi. Penasaran, ia mulai mengintai siapa yang melakukannya. Ternyata, anaknya, yang kini sudah sedikit lebih gagah, diam-diam menyusun kayu bakar tersebut.
Meskipun penampilan luar Raja Narasaon tetap seperti kodok, dalam hati Tantan Debata tahu bahwa anaknya cukup tampan. Ketika Raja Narasaon mulai remaja, Tuan Sorba Di Jae mengirimnya untuk menjalani tapa di Gunung Simanuk-manuk, yang terletak di sebelah timur Sibisa, arah menuju Porsea dari Parapat. Setelah selesai menjalani tapa, Tuan Sorba Di Jae menyuruh Raja Narasaon untuk pergi ke Limbong untuk mencari pasangan.
Pencarian Jodoh di Limbong
Di Limbong, Raja Narasaon mencoba melamar ketujuh anak perempuan dari keluarga Tulangnya, namun mereka menolak karena penampilannya yang masih seperti kodok. Suatu sore, saat Raja Narasaon sedang mandi, Boru Tulangnya yang bungsu terpesona melihat ketampanan Raja Narasaon dan menyadari bahwa wajahnya hanyalah sebuah rumang (topeng). Hari ketiga, saat Raja Narasaon akan pulang, Tulangnya mengumpulkan ketujuh anak perempuannya dan bertanya siapa di antara mereka yang ingin menikah dengan Raja Narasaon. Keenam Boru menolaknya, namun Boru Siampudan, yang bungsu, akhirnya setuju.
Keputusan Boru Siampudan
Boru Siampudan berkata, “Naroa pe pariban.kki, Naroakku do i, au rade do gabe Parsonduk ni anak ni Nam boru kki” yang artinya, "Walaupun tampak berbeda, dia tetaplah anak dari Mulajadi Nabolon." Maka, Raja Narasaon pun menikahi Boru Siampudan.
Namun, saat Raja Narasaon dan Boru Siampudan menggelar pesta pernikahan, keenam saudara Boru Siampudan merasa cemburu dan bertanya mengapa adik mereka "dilangkahi". Lalu ayah mereka menjawab, “Hamu do da inang na manjua, Anggim do mangoloi ba molo i naso jadi be sirangan” yang artinya, "Kamu memang lebih tua, tetapi keputusan ini sudah ditentukan."
Pembuangan Anak Kembar dan Pertentangan
Setelah menikah, Boru Siampudan melahirkan anak kembar di dalam Balutan. Tuan Sorba Di Jae, yang marah melihat cucunya seperti itu, membuang mereka ke Pansur Napitu.
Sumpah Tantan Debata
Tantan Debata sangat marah atas perlakuan suaminya, Tuan Sorba Di Jae. Ia bersumpah tidak akan dikuburkan berdekatan dengan Tuan Sorba Di Jae, dan bahkan berkata, “Ngadua hali di bahen ho haccit rohakku, di bolongkonkko anak ku dohot pahompukku,” Ia pun menghentakkan kakinya sambil berkata, “Ingkon sirang do tanomankku dohot ho.
Penemuan Anak Kembar dan Nama Raja Mardopang
Esok harinya, Tantan Debata pergi ke jurang Pansur Napitu untuk mencari cucunya yang dibuang. Ia terkejut ketika mendengar suara tangisan bayi. Kilat yang menyambar malam itu diyakini telah membuka Balutan cucunya. Karena tidak tahu siapa yang lahir lebih dulu, kedua bayi tersebut dinamakan Raja Mardopang, yang berarti "bercabang", dengan nama Raja Mangatur dan Raja Mangarerak.
Perjalanan Raja Narasaon dan Simanuk-manuk
Raja Narasaon, setelah kejadian tersebut, melanjutkan tapanya di Simanuk-manuk dan tidak pernah kembali ke Sibisa. Nama Simanuk-manuk kemudian diabadikan dalam Gondang Simanuk-manuk yang dikenal sebagai Gondang Pasiarhon dan Gondang Jujungan untuk mengenang Raja Narasaon dan Tantan Debata. Gondang ini masih sering diputar dalam pesta adat, khususnya bagi keturunan Raja Narasaon.
Pemahaman dan Cerita Ogung
Hingga kini, hanya sedikit orang yang menguasai Gondang Gerak dalam Tortor, dan itu pun hanya orang-orang dengan jujungan (garis keturunan) yang memiliki hak. Di antara Raja Mangatur dan Raja Mangarerak, tidak ada yang tahu siapa yang lebih tua, karena keduanya lahir bersamaan. Dalam sebuah pesta adat yang pernah diadakan, baik Raja Mangarerak yang berada di depan maupun Raja Mangatur yang di depan, tidak dapat membuat Ogung (alat musik Batak) berbunyi. Baru ketika mereka berdua berdiri di sisi yang berbeda, yaitu Raja Mangarerak di kanan dan Raja Mangatur di kiri, Ogung mulai berbunyi.
Anak-Anak Mereka
- Raja Mangarerak menikah dengan Si Boru Hutahot, memiliki seorang anak laki-laki, yaitu Raja Toga Manurung, dan seorang putri, yaitu Boru Similing - Iling.
- Raja Mangatur menikah dengan Deak Bintang Harugasan, memiliki tiga anak:
Pada masa kehidupan Tuan Sorba Di Jae, sistem marga belum digunakan oleh keluarga mereka. Itulah alasan mengapa Tuan Sorba Di Jae belum memiliki marga. Tuan Sorba Di Jae dikenal juga dengan nama Datu Pejel.