Logo Ebatak
Ebatak | Ensiklopedia Batak
Ensiklopedia Batak

Mitologi Batak: Tondi, Sahala, dan Leluhur orang Batak

Jauh Sebelum Salib dan Mimbar: Kepercayaan Asli Batak


ebatak.com
ebatak.com
Ebatak | Ensiklopedia Batak

Ketika kita melihat masyarakat Batak hari ini, kita akan melihat komunitas yang taat dalam iman Kristen atau Islam, dengan gereja dan masjid yang berdiri kokoh di penjuru tanah Batak. Namun, pernahkah kita bertanya, kepercayaan agung apa yang dipegang teguh oleh para ompung (kakek/nenek buyut) kita jauh sebelum ajaran-ajaran samawi tiba? Jawabannya terletak pada sebuah sistem religi yang kompleks dan penuh filosofi, yang berpusat pada Sang Pencipta Tunggal.

Keyakinan ini bukanlah sekadar mitos kuno yang terlupakan. Ia adalah Ugamo Malim, sebuah ajaran spiritual yang memandang alam semesta dan isinya dalam sebuah harmoni kosmik di bawah kekuasaan Debata Mulajadi Nabolon. Di dalam ajaran inilah terkandung konsep-konsep mendalam tentang jiwa, kekuatan spiritual, dan hubungan antara yang hidup dan yang telah tiada—konsep yang secara subtil masih terasa denyutnya dalam karakter dan budaya orang Batak hingga detik ini.

Daftar Isi

Jauh di puncak kosmologi Batak, bertahtalah Debata Mulajadi Nabolon. Ia adalah Sang Awal Mula Yang Agung, asal dari segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Ia tidak berwujud, tidak terjangkau oleh pikiran manusia, dan merupakan sumber dari segala kehidupan. Konsep ini pada intinya adalah monoteisme murni, yaitu kepercayaan pada satu Tuhan sebagai pencipta alam semesta.

Namun, untuk memerintah tiga dunia—Banua Ginjang (dunia atas), Banua Tonga (dunia tengah, tempat manusia hidup), dan Banua Toru (dunia bawah)—kekuasaan Mulajadi Nabolon memancar dalam wujud Debata Natolu (Tiga Dewa). Mereka adalah Batara Guru yang merepresentasikan keadilan dan hukum, Soripada yang melambangkan kemurahan hati dan belas kasih, serta Mangala Bulan yang merupakan sumber kebijaksanaan dan pengetahuan. Debata Natolu bukanlah tiga tuhan yang berbeda, melainkan tiga manifestasi dari kekuasaan tunggal Mulajadi Nabolon yang mengatur tatanan alam.

Seluruh ajaran luhur ini terangkum dalam Ugamo Malim, dan para penganutnya disebut sebagai Parmalim. Hingga hari ini, komunitas Parmalim masih eksis dan menjaga kemurnian ajaran ini sebagai sebuah agama yang hidup. Pengetahuan tentang ritual, doa, dan tatanan kosmik ini diwariskan secara turun-temurun, sebagian juga tertulis dalam pustaha laklak, kitab kuno dari kulit kayu yang menjadi pegangan para datu (pemimpin spiritual/dukun) di masa lampau.

Religi Batak kuno memiliki pandangan yang sangat unik mengenai jiwa dan roh, yang terbagi menjadi tiga konsep utama. Pertama adalah Tondi, yaitu jiwa atau roh kehidupan itu sendiri. Setiap manusia, sejak dalam kandungan ibunya, telah dianugerahi tondi oleh Mulajadi Nabolon. Tondi inilah yang memberi nyawa, semangat, dan kesadaran. Ia adalah esensi kehidupan yang membuat manusia menjadi manusia.

Kedua adalah Sahala. Jika setiap orang memiliki tondi, maka tidak semua orang memiliki sahala. Sahala adalah sejenis kekuatan spiritual, karisma, wibawa, atau tuah yang memancar dari dalam diri seseorang. Inilah yang membedakan seorang pemimpin atau raja dari rakyat biasa. Sahala tidak bisa dipelajari, ia adalah anugerah. Seseorang bisa memperkuat sahala-nya melalui perbuatan baik, kebijaksanaan, dan terutama melalui restu dari hula-hula (keluarga pihak istri), yang dianggap sebagai sumber berkat.

Ketiga adalah Begu, yaitu tondi dari orang yang telah meninggal dunia. Masyarakat Batak percaya bahwa setelah kematian, jiwa seseorang berubah menjadi begu atau roh leluhur. Begu ini tidaklah jahat; mereka adalah arwah para pendahulu yang tetap memiliki hubungan dengan keturunannya. Mereka bisa memberikan berkat jika diperlakukan dengan hormat melalui upacara-upacara adat, namun juga bisa mendatangkan musibah jika dilupakan atau tidak dihormati. Inilah akar dari kuatnya tradisi penghormatan kepada leluhur dalam budaya Batak.

Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, tetapi orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka." Pernyataan ini sangat tepat dan menunjukkan adanya sebuah fenomena sinkretisme budaya yang harmonis. Ajaran agama modern tidak serta-merta menghapus warisan filosofis leluhur, melainkan berjalan berdampingan.

Sebagai contoh, seorang Batak Kristen yang taat mungkin masih akan menggelar upacara adat untuk "memanggil" semangat (mirip dengan konsep mangalap tondi) seorang anggota keluarga yang sakit keras dan terkejut. Kepercayaan bahwa restu hula-hula dapat mendatangkan kesuksesan (sebuah manifestasi dari sahala) masih dipegang teguh dalam setiap acara adat. Demikian pula, rasa hormat dan bahkan sedikit rasa "takut" kepada arwah leluhur (begu) masih tecermin dalam berbagai ritual dan etika sosial.

Pada akhirnya, kepercayaan-kepercayaan ini bukanlah sekadar "takhayul" dari masa lalu. Ia adalah lapisan terdalam dari jati diri orang Batak. Konsep tondi yang harus dijaga, harapan untuk memiliki sahala, dan kewajiban untuk menghormati begu para leluhur adalah fondasi filosofis yang membentuk karakter orang Batak menjadi pribadi yang kuat, memiliki harga diri tinggi, dan tidak pernah lupa akan akarnya. Warisan inilah yang terus hidup, memberi kekuatan, dan menjadi pembeda di tengah zaman yang terus berubah.

Senin, 29 September 2025, 22:04 | Senin, 29 September 2025, 22:09 | oleh Regina

Mitologi