Silsilah, partuturan dan tarombo Raja Uti
Raja Uti adalah anak dari Guru Tatea Bulan bersama istrinya Sibasoburning. Sebagian besar keturunan cucu Raja Batak ini berasal dari Sianjur Mulamula.

Ebatak | Ensiklopedia Batak
Tabel Partuturan Raja Uti
Nama | Raja Uti [Generasi ke-3 dari Si Raja Batak.] Alias:
|
Among na (Bapak) | Guru Tatea Bulan |
Inong na (Ibu) | Sibasoburning |
Ompung Doli na (Kakek dari pihak Bapak) | Raja Batak |
Ompung Boru na (Nenek dari pihak Bapak) | Putri dari Siam |
Amanguda na (Adik dari Bapak) | |
Daerah asal | Sianjur Mulamula |
Kelahiran Raja Uti
Ketika Sibaso Bolon hendak melahirkan Raja Uti, terjadi kejadian yang aneh, berkicaulah burung Patiaraja di dahan Pohon Beringin Tumburjati, beterbangan pula hulis-hulis, petir bergelegar, tiba waktunya, lahirlah seorang anak laki-laki tetapi ada kekurangan, karena kaki dan tangannya pendek bahkan hampir tak kelihatan. Maka Sibaso Bolonpun menangis melihat anaknya itu, tetapi dia dihibur Guru Tateabulan, dan mengatakan bahwa Mulajadi Nabolon sudah terlebih dahulu memberitahu hal itu kepadanya, sejak dia membuat parit perlindungan kampung. Merekapun membesarkan anak itu, dia cepat besar dan berbicara, tetapi nggak bisa duduk, dia hanya tidur-tiduran seperti miok-miok, itulah sebabnya dia disebut Siraja Miok-miok, yang lain menyebutnya Siraja Gumeleng-geleng.Setelah Siraja Miok-miok besar, dia minta kepada Ibunya Sibaso Bolon supaya dia diantar ke gunung Pusuk Buhit, agar dapat martonggo (berkomunikasi) dengan Mulajadi Nabolon.
Maka Si Raja Uti diletakkan Ibunya di bawah pohon Piu-piu Tanggule,dengan harapan jika buahnya jatuh, ada buat makanannya. Dia juga diberi Pungga haomasan, supaya ada yang dijilat apabila dia lapar. Di tempat itulah Siraja Miok-miok martonggo ke Mulajadi Nabolon agar berkenan melengkapi keadaan tubuhnya. Mulajadi Nabolon pun meluluskan permintaannya, tangan dan kakinya pun makin panjang, tetapi tumbuh juga ekornya seperti ekor bajonggir dan ada pula kulit tipis penyambung ruas tangan dan kakinya seperti sayap kelelawar.
Raja uti Martonggo
Siraja Miok-miok kemudian martonggo, mengapa dia bernasib seperti itu, dulu ada kekurangannya, tetapi sekarang jadi lebih. Mulajadi Nabolon menjelaskan bahwa tubuhnya harus seperti itu supaya dia tidak bisa bergaul dengan manusia, karena dia akan jadi Malim yang dapat meneruskan permintaan manusia kepada Mulajadi Nabolon dan menyampaikan pesan Mulajadi Nabolon kepada manusia. Itulah sebabnya dia digelar Raja Hatorusan atau Raja Uti. Putri tertua Guru Tate Bulan adalah Biding Laut, dia memiliki kecantikan melebihi adik perempuan lainnya. Dia juga memiliki watak yang ramah dan santun kepada orangtuanya. Karena itu, anak ini yang paling disayangi kedua orangtuanya. Dan juga adalah kembaran dari Gumellenggelleng alias Biakbiak alias Raja Uti. Jadi sewaktu Raja Uti masih bersama mereka ,Biding Laut selalu dekat dengannya.
Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-Biak dan Raja Sigumeleng-Geleng) adalah sosok yang misterius, sakti, dan penuh kharisma dalam sejarah dan mitologi Batak. Ia dikenal memiliki ilmu yang sangat tinggi, bahkan melebihi kebanyakan raja lainnya di Tanah Batak. Namun, secara fisik, ia disebut memiliki kekurangan yang membuatnya lebih memilih memimpin secara spiritual dibandingkan langsung memegang tampuk pemerintahan. Oleh karena itu, ia memandatkan kekuasaan duniawi kepada ponakannya, Sisingamangaraja, sementara kekuatan spiritual tetap berpusat pada dirinya.
Kehidupan dan Kesaktian Raja Uti
Raja Uti diyakini sebagai sosok yang tidak terikat pada satu bentuk fisik. Menurut berbagai sumber, ia dapat berubah wujud dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Dalam satu kesempatan, ia bisa muncul sebagai seorang laki-laki, di lain waktu ia membaur sebagai perempuan, orang tua, atau bahkan anak-anak. Keunikan ini membuatnya dikenal sebagai pemimpin yang tidak mudah dikenali secara fisik, tetapi kehadirannya selalu terasa.
Selain itu, Raja Uti dikatakan memiliki berbagai ilmu gaib yang luar biasa. Ia mampu berkomunikasi dengan alam, menghilang, dan mengetahui peristiwa yang akan terjadi. Kemampuannya ini menjadikannya figur yang sangat dihormati, bukan hanya di kalangan masyarakat Batak tetapi juga oleh para pemimpin lainnya.
Raja Uti dan Sisingamangaraja
Karena kondisi fisiknya yang dianggap kurang sempurna, Raja Uti tidak secara langsung menjadi pemimpin pemerintahan di Tanah Batak. Sebagai gantinya, ia bersepakat dengan ponakannya, Sisingamangaraja, untuk menjalankan kepemimpinan duniawi, sementara Raja Uti tetap menjadi pusat kekuatan spiritual. Hal ini mencerminkan konsep kepemimpinan ganda dalam budaya Batak, di mana kekuatan politik dan spiritual bisa berada di tangan orang yang berbeda.
Asal-Usul dan Tempat Kediaman Raja Uti
Terdapat beberapa versi mengenai asal-usul dan tempat tinggal Raja Uti. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ia berasal dari Bakkara, yang juga merupakan tanah leluhur Sisingamangaraja. Namun, ada juga yang meyakini bahwa Raja Uti memiliki kediaman di Gunung Pusuk Buhit, sebuah tempat sakral dalam kepercayaan Batak yang diyakini sebagai tempat asal nenek moyang orang Batak.
Di antara cerita yang berkembang, ada juga yang menyebutkan bahwa Raja Uti tidak meninggal dalam pengertian biasa, melainkan menghilang ke alam gaib dan masih tetap "hidup" secara spiritual.
Jejak Raja Uti dalam Budaya Batak
Hingga kini, Raja Uti tetap menjadi sosok yang dihormati dalam budaya Batak. Namanya sering dikaitkan dengan legenda, ritual adat, dan ajaran spiritual yang diwariskan turun-temurun. Beberapa jejak peninggalannya masih dapat ditemukan dalam bentuk cerita rakyat, tradisi lisan, dan bahkan beberapa peninggalan fisik di daerah-daerah yang terkait dengan sejarahnya.
Kesimpulan
Raja Uti adalah salah satu tokoh paling misterius dan berpengaruh dalam sejarah Batak. Dengan kesaktiannya yang luar biasa dan kemampuannya yang unik, ia menjadi figur yang dihormati dalam budaya Batak. Meskipun tidak memimpin secara langsung, ia tetap menjadi pusat spiritual yang mendukung kepemimpinan Sisingamangaraja.
Hingga saat ini, legenda tentang Raja Uti masih hidup dalam cerita-cerita masyarakat Batak. Kisahnya mengajarkan bahwa kepemimpinan tidak selalu harus diukur dari kekuatan fisik, tetapi juga dari kebijaksanaan, ilmu, dan spiritualitas yang mendalam.