Pada tahun 1824, babak baru dimulai dengan kedatangan dua misionaris Baptis Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward. Mereka melakukan perjalanan heroik dari Sibolga menembus pedalaman dan tiba di Lembah Silindung, menjadi orang Eropa pertama yang melakukan observasi mendalam terhadap kehidupan masyarakat Batak. Jejak mereka diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Amerika pada 1834, meskipun misi mereka berakhir tragis.
Upaya pengkristenan menjadi lebih sistematis ketika pemerintah kolonial dan lembaga zending (misi) turun tangan. Pada tahun 1850, ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk ditugaskan menyusun kamus dan tata bahasa Batak-Belanda. Tujuannya jelas: memperlancar komunikasi para misionaris dengan masyarakat sasaran mereka, terutama Batak Toba dan Simalungun. Puncaknya adalah kedatangan misionaris Jerman dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) pada tahun 1861.
Salah satu nama yang paling lekat dengan kekristenan di Tanah Batak adalah Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Ia tidak hanya berhasil menjalankan misi pengkristenan yang efektif sejak 1881, tetapi juga melakukan pekerjaan monumental menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak Toba pada 1869. Upaya ini dilanjutkan oleh P. H. Johannsen yang menyelesaikan Perjanjian Lama pada 1891, menjadikan Kitab Suci dapat diakses secara luas oleh masyarakat Batak.
Kerja keras para misionaris membuahkan hasil yang signifikan. Masyarakat Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, dan sebagian Angkola menyambut agama Kristen dengan tangan terbuka. Pada awal abad ke-20, kekristenan bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka. Momen ini bertepatan dengan melemahnya perlawanan masyarakat lokal terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, terutama setelah wafatnya pemimpin karismatik Sisingamangaraja XII pada tahun 1907.
Lembaga gereja pun mulai berdiri kokoh. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yang kelak menjadi gereja Protestan terbesar di Indonesia, resmi didirikan di Balige pada September 1917. Menyusul kemudian, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan pada tahun 1941. Gereja tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan pelayanan kesehatan, seperti sekolah perawat yang melatih para bidan.
Misi Katolik memasuki Tanah Batak lebih lambat, yakni pada 5 Desember 1934 dengan kedatangan Pastor Sybrandus van Rossum. Ia tiba ketika Zending Protestan telah mengakar kuat selama 73 tahun, dengan ratusan ribu jemaat dan institusi yang mapan. Meski demikian, Misi Katolik tetap menemukan ruang untuk bertumbuh, melengkapi mozaik keberagaman iman yang kompleks di Tanah Batak hingga saat ini.