Raja Iborboran: Sejarah dan Asal-usul Marga Borbor
Raja Iborboran: Ayah Raja Hatorusan II yang mewariskan marga Borbor.

Ebatak | Ensiklopedia Batak
Nai Margiring Laut adalah istri pertama dari Tuan Saribu Raja, salah satu tokoh penting dalam silsilah masyarakat Batak. Dari pernikahan ini, lahir seorang putra bernama Raja Iborboran, yang kemudian menjadi leluhur dari marga Borbor. Namun, kebahagiaan Nai Margiring Laut tak berlangsung lama. Suaminya, Saribu Raja, pergi tanpa kabar, meninggalkannya dalam kondisi hamil tua.
Kepergian Saribu Raja menimbulkan kecemasan dalam diri Nai Margiring Laut. Ia tidak tahu bagaimana masa depan anak yang sedang dikandungnya. Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh mertuanya, Tatea Bulan, yang kemudian mengajak ketiga anaknya—Limbong, Sagala, dan Lauraja—untuk mendiskusikan persoalan tersebut. Mereka pun bersepakat bahwa jika anak yang lahir adalah laki-laki, haknya sebagai anak sulung (raja ijolo) tetap akan diakui.
Untuk mengukuhkan kesepakatan itu, Tatea Bulan mencari hari baik (mambuhul ari) untuk melaksanakan ritual pengesahan. Dengan doa dan mantra (tonggo-tonggo), ia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar perjanjian ini diberkati. Sebuah tombak bernama hujur siringis diberikan sebagai simbol persatuan keturunan Tatea Bulan.
Kelahiran Raja Iborboran
Sementara itu, Saribu Raja melakukan tindakan yang bertentangan dengan adat dengan mengawini adik kandungnya sendiri, Si Boru Pareme. Perkawinan ini menimbulkan kemarahan saudara-saudaranya, yaitu Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Silau Raja. Akibatnya, ia diusir dan memilih mengembara ke hutan Sabulan, meninggalkan Si Boru Pareme yang tengah mengandung.
Di sisi lain, usai ritual pengesahan di rumah Nai Margiring Laut, kejadian luar biasa terjadi. Kilat menyambar, petir bergemuruh, dan hujan turun deras seolah-olah seluruh alam ikut merestui janji mereka. Dengan penuh suka cita, mereka terus menari (manortor) tanpa menghiraukan hujan yang mengguyur tubuh mereka. Tak lama kemudian, Nai Margiring Laut melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak itu diberi nama Iborboran, karena kelahirannya bertepatan dengan hujan deras (diborbor udan).
Persatuan Borbor Morsada
Setelah kelahiran Iborboran, keturunannya berkembang menjadi beberapa marga, di antaranya Malau, Limbong, Sagala, Manik, Ambarita, dan Gurning. Marga-marga ini bersatu dalam kelompok yang disebut Borbor Morsada, yang berarti "Persatuan Borbor." Persatuan ini semakin kuat dengan adanya kongres yang diadakan pada 16 Mei 1937 di gereja HKBP Haunatas, Laguboti, Tapanuli Utara, dengan tujuan mempererat hubungan kekerabatan di antara mereka.>
Kongres Borbor Marsada
Pada hari minggu 16 mei 1937, marga-marga yang tergabung dalam Borbor Marsada mangadakan kongres sehari. Marga-marga yang tergabung dalam Borbor Marsada itu ialah marga yang berasal dari keturunan Siraja Borbor, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja . Kongres sehari tersebut diadakan di gereja HKBP Haunatas, Laguboti, Tapanuli Utara. Keputusan Kongres Sehari tersebut kurang lebih sebagai berikut:
- Sepakat mendirikan Borbor bond dengan pengurus G. Parapat (ketua), M. Pasaribu (sekretaris) dan H. Pasaribu (bendahara).
- Mengenai soal saling mengawini, tetap seperti biasa yaitu sesama marga Borbor Marsada tetap merasa sisada lulu anak sisada lulu boru.
- Mengenai silsilah (tarombo) yang dijelaskan M. Salomo Pasaribu, bila ada yang kurang dan lebih bisa disurati dan ditujukan ke alamat pengurus di Medan.
- Mengenai pendirian Borbor Bank, perlu dipikirkan lebih serius oleh orang yang ditunjuk untuk itu, modal pertama adalah kolekte (pengumpulan dana).
- Batu Hobon di Sianjur Mula-Mula perlu dipelihara, dibersihkan dan dipagar, tetapi untuk dibuka jangan dulu. pemiliharaan tersebut diupayakan oleh pengurus yang terpilih.
- Mengenai hubungan abang adik Siraja Borbor dan Siraja Lontung, yang benar Siraja Borbor itulah sebagai abang karena lebih dulu lahir
- Barang pusaka seperti Hujur Siborboron dan Hujur Jambar Baho, hendaklah disampaikan atau diserahkan kepada pengurus untuk disimpan.
- Bahan cerita lebih jauh mengenai Raja Hatorusan (Raja Uti) diserahkan kepada kepala huria Sorkam Kiri, Tuanku Sutan Alamsyah Batubata, karena Barus lah tempat bermukim terakhir Raja Hatorusan (Raja Uti).
Demikian kurang lebih kongres sehari Borbor Marsada di Haunatas tahun 1937. yang dihadiri utusan-utusan dari: Sidikalang, Pematang Siantar, Medan, Barus, Sibolga, Angkola, Padang lawas, Mandailing, Pangaribuan, Pahae, Tarutung, Uluan, Doloksanggul dan Siborong-borong.
Daerah asal
Turunan Borbor awal mula menempati Pinang Sori Lumut di Sibolga serta kecamatan Barus kabupaten Tapanuli Tengah. Pada saat itu ada beberapa marga yang bermukim di sana yaitu marga Pasaribu, marga Sipahutar, kemudian marga Silitonga yang termasuk dalam marga Pohan.
Marga-marga dari keturunan Borbor banyak menduduki daerah Tapanuli Selatan, tetapi pada saat proses persebarannya sebagian ada yang menyebar ke daerah Tapanuli Tengah