Logo Ebatak
Ebatak | Ensiklopedia Batak
Ensiklopedia Batak

Sejarah Parpadanan Marga Silaban dan Hutabarat

Asal Mula Padan Marga


Padan Marga Hutabarat Silaban
Padan Marga Hutabarat Silaban
Setelah menikah, Sakkar Toba dan Boru Pasaribu memiliki anak yang diberi nama Sakkar Pangururan, yang bermarga Hutabarat. Sementara kedua adik Sakkar Pangururan, Martiang Omas dan Tuan Sampulu, tetap bermarga Silaban. Melihat perbedaan marga antara anak-anaknya, Sakkar Toba dan Boru Pasaribu merasa khawatir akan terjadi pernikahan antara keturunan Silaban dan Hutabarat di masa depan. Oleh karena itu, mereka membuat sebuah padan yang mengikat bahwa keturunan dari marga Silaban dan Hutabarat.
Source: ebatak.com
Author: Regina

Pada zaman dahulu di wilayah Tapanuli, tepatnya di Humbang Hasundutan, terdapat sebuah kisah yang melibatkan dua marga besar, yaitu Silaban dan Hutabarat. Kisah ini berawal dari seorang laki-laki bernama Sakkar Toba Silaban yang menjadi kunci terjadinya suatu ikrar atau "padan" antara kedua marga tersebut. Padan ini mengikat kedua marga untuk tidak saling menikah hingga saat ini. Berikut adalah cerita mengenai asal-usul ikrar tersebut dan perjalanan hidup Sakkar Toba yang mengubah sejarah marga Silaban dan Hutabarat.

Daftar Isi

Sakkar Toba Silaban, yang merupakan anak semata wayang, sejak kecil sudah harus menjalani hidup penuh cobaan. Ayah dan ibunya meninggal tragis saat ia masih sangat kecil, yang menyebabkan ia tumbuh besar sebagai anak yatim piatu. Sakkar Toba kemudian diasuh oleh pamannya, Datu Mangambe, yang juga merupakan adik dari Datu Bira, ayah Sakkar Toba. Kehidupan penuh kasih sayang dari pamannya membentuk karakter Sakkar Toba, yang kelak akan memainkan peran penting dalam sejarah kedua marga tersebut.

Datu Mangambe, setelah kematian kakaknya Datu Bira, merasa iba terhadap nasib keponakannya yang hidup tanpa orang tua. Dalam kesedihan dan kesungguhan, Datu Mangambe mengucapkan sebuah ikrar di hadapan jenazah kakaknya bahwa ia tidak akan menikah sebelum Sakkar Toba menikah dan membesarkan keponakannya itu hingga dewasa. Ikrar ini menjadi ikatan yang sangat kuat antara Datu Mangambe dan Sakkar Toba. Dengan penuh rasa tanggung jawab, Datu Mangambe menepati janjinya, membesarkan Sakkar Toba dengan kasih sayang hingga keponakannya tumbuh menjadi pria dewasa.

Ketika Sakkar Toba dewasa, Datu Mangambe memintanya untuk segera mencari pasangan hidup. Namun, Sakkar Toba awalnya menolak karena ia melihat pamannya yang masih melajang. Setelah mendapat penjelasan tentang janji yang diucapkan pamannya di hadapan jenazah Datu Bira, Sakkar Toba akhirnya menyadari bahwa ia harus melaksanakan perintah pamannya. Dengan rasa terharu, Sakkar Toba meninggalkan kampung halamannya dan memulai perjalanan jauh untuk mencari jodoh.

Dalam perjalanannya menuju Rura Silindung, Sakkar Toba bertemu dengan seorang wanita muda yang sedang menangis. Wanita tersebut adalah Boru Pasaribu, yang meratapi kematian suaminya, Si Hutabarat, yang dibunuh oleh seekor babi hutan yang memiliki kekuatan magis. Boru Pasaribu kemudian mengumumkan sayembara bahwa siapa saja yang mampu membunuh babi hutan tersebut dan membawa kepalanya, maka apapun yang ada di rumahnya boleh diambil sebagai hadiah. Sakkar Toba yang mendengar sayembara tersebut, memutuskan untuk menerima tantangan itu.

Sakkar Toba, dengan ilmu yang dimilikinya, berhasil membunuh babi hutan itu setelah mengalahkan kekuatan magis dari kalung yang dimiliki binatang tersebut. Dengan mudah ia membunuh babi hutan dan membawa kepalanya sebagai bukti kemenangan. Warga desa yang awalnya meragukan keberhasilannya akhirnya percaya setelah melihat bukti nyata di tempat kejadian. Penemuan cincin milik Si Hutabarat di dalam perut babi hutan semakin menguatkan kebenaran cerita Sakkar Toba.

Sebagai hadiah atas kemenangannya, Sakkar Toba memutuskan untuk meminta Boru Pasaribu sebagai pendamping hidupnya, meskipun banyak warga desa yang menentang permintaan tersebut karena perbedaan marga. Namun, karena sayembara yang diucapkan oleh Boru Pasaribu tidak membuat pengecualian, dan dia sendiri ingin agar Sakkar Toba menjadi pemenang, akhirnya warga desa menyerahkan keputusan kepada Boru Pasaribu. Setelah mempertimbangkan dengan bijak, Boru Pasaribu menerima permintaan Sakkar Toba, namun dengan syarat bahwa Sakkar Toba tidak boleh menggaulinya sampai anak yang dikandungnya dari Si Hutabarat lahir.

Setelah menikah, Sakkar Toba dan Boru Pasaribu memiliki anak yang diberi nama Sakkar Pangururan, yang bermarga Hutabarat. Sementara kedua adik Sakkar Pangururan, Martiang Omas dan Tuan Sampulu, tetap bermarga Silaban. Melihat perbedaan marga antara anak-anaknya, Sakkar Toba dan Boru Pasaribu merasa khawatir akan terjadi pernikahan antara keturunan Silaban dan Hutabarat di masa depan. Oleh karena itu, mereka membuat sebuah padan yang mengikat bahwa keturunan dari marga Silaban dan Hutabarat tidak boleh saling menikah. Sejak saat itu, padan tersebut berlaku hingga kini.

Beberapa tahun setelah anak-anaknya dewasa, Sakkar Toba dan keluarga berkunjung ke kampung halamannya. Datu Mangambe, yang sangat senang melihat keponakannya datang dengan istri dan anak-anaknya, merasa bahwa ikrar yang ia buat dengan kakaknya telah terlaksana dengan baik. Dengan penuh kebahagiaan, Datu Mangambe akhirnya bisa melepas ikrar yang telah dibuat bertahun-tahun sebelumnya dan melanjutkan hidupnya dengan menikah lagi untuk mengejar ketertinggalan jumlah keturunan.

Sabtu, 22 Maret 2025, 23:52 | Minggu, 23 Maret 2025, 00:43 | oleh Regina

Sejarah