Logo Ebatak
Ebatak | Ensiklopedia Batak
Ensiklopedia Batak

Raja Manghuntal: Kelahiran Sisimangaraja I

Sejarah Kelahiran Si Singamangaraja I - Raja Batak Legendaris


ebatak.com
ebatak.com
Ebatak | Ensiklopedia Batak

Si Singamangaraja I, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Batak, dikenal sebagai raja yang membawa perubahan besar dalam masyarakat dan budaya Batak. Kelahiran Raja Si Singamangaraja I tidak hanya dipenuhi dengan keajaiban alam, tetapi juga dipenuhi dengan nubuat dan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia akan menjadi sosok yang luar biasa. Sejarah kelahirannya yang penuh misteri ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kisah legendaris yang membentuk identitas bangsa Batak.

Dalam perjalanan hidupnya, Si Singamangaraja I mengalami peristiwa-peristiwa luar biasa yang mengesankan banyak orang. Dari gempa bumi, angin ribut, hingga gerhana matahari yang menjadi pertanda kelahiran anak ajaib, setiap momen dalam hidupnya penuh dengan fenomena alam yang tak biasa. Kelahiran Si Singamangaraja I bukan hanya sebuah peristiwa pribadi, tetapi juga menjadi momen penting bagi seluruh masyarakat Batak yang percaya bahwa dia adalah utusan dari Debata Mulajadi na Bolon, Tuhan dan Dewa tertinggi mereka.

Kehadiran Si Singamangaraja I membawa perubahan dalam struktur sosial dan politik di Tanah Batak. Ia dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana, yang mengatur pemerintahan dengan cermat dan menjalin hubungan baik dengan berbagai daerah. Artikel ini akan membawa Anda lebih dekat pada kisah kelahiran dan perjalanan hidupnya yang penuh keajaiban, serta bagaimana ia membangun kerajaan Batak yang dihormati hingga hari ini.

Daftar Isi

Raja Bona ni Onan tinggal di Pari Sabungan Bosi, Lumban Pande, Bakkara. Ia menikah dengan Si boru Pasaribu dan memiliki seorang putri bernama Siboru Nasiap Natundal. Raja Bona ni Onan sangat berharap untuk memiliki seorang putra sebagai penerus keturunannya. Namun, meskipun Siboru Nasiap Natundal sudah berumur sekitar lima atau tujuh tahun, anak laki-laki yang ia harapkan belum juga lahir, dan istrinya tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Karena tidak sabar menunggu, Raja Bona ni Onan pun pergi mengembara. Selama empat tahun, ia meninggalkan kampungnya dan membiarkan istri serta anaknya tinggal di kampung. Si boru Pasaribu merasa sedih dan merasa bersalah karena tidak bisa memberikan anak laki-laki untuk suaminya. Selama ditinggal suaminya, ia hanya martonggo (bersembahyang), memuja dan memohon kepada Debata Mulajadi na Bolon, Tuhan dan Dewa tertinggi dalam kepercayaan Batak, agar diberi jalan keluar dari kesusahannya. Doanya pun didengar oleh Mulajadi na Bolon, meskipun dengan cara yang tak diduga.

Suatu hari, ia dan putrinya Siboru Nasiap Natundal pergi ke Harangan Sulu-Sulu, yang terletak di barat daya kampung Lumban Pande Bakkara, untuk mengumpulkan daun arabu (sejenis tumbuhan untuk pewarna). Seperti biasanya, setelah mengumpulkan daun arabu, mereka pun mandi dan ber-pangir (membersihkan diri) dengan jeruk purut. Tiba-tiba, sesuatu yang ajaib terjadi. Muncul seseorang yang tampak seperti malaikat, putih dan bercahaya. Orang itu berkata bahwa Debata Mulajadi na Bolon telah mendengar tonggo (doa) mereka dan akan mengabulkan permintaan tersebut. Si boru Pasaribu akan segera mengandung selama 19 bulan dan melahirkan seorang putra yang kelak akan menjadi raja yang sakti dan bijaksana. Kelahiran sang putra akan ditandai dengan gempa bumi yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam, angin ribut selama tiga hari tiga malam, dan gerhana matahari selama tiga hari berturut-turut. Penduduk diminta untuk menopang rumah mereka dengan bonsiang atau pimping, serta mengikat semua lesung dengan daun pandan supaya tidak beterbangan. Sang putra akan lahir pada bulan Tula atau bulan penuh pada Batak Sipahasada (bulan pertama), dan ia harus diberi nama atau gelar Si Singamangaraja.

Kehamilan Boru Pasaribu menimbulkan keributan di kalangan masyarakat Batak, dan kecurigaan terhadap ketidaksetiaannya semakin besar. Hal ini disebabkan karena Boru Pasaribu tidak bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya yang telah terjadi padanya, karena peristiwa tersebut sulit diterima kebenarannya. Setelah usia kandungannya menginjak tujuh bulan, tiba-tiba Raja Bona ni Onan kembali ke Bakkara. Mungkin ia telah mendengar kabar tentang kehamilan istrinya yang telah ditinggalkannya selama empat tahun. Melihat istrinya yang sedang hamil, Raja Bona ni Onan enggan bertemu dengannya. Ia hanya memanggil putrinya, Siboru Nasiap Natundal, untuk menyelidiki kebenaran tuduhan terhadap istrinya. Putrinya dengan tegas menyatakan kesucian ibunya dan menolak tuduhan ayahnya, tetapi ia belum bisa menceritakan kejadian yang pernah ia saksikan di Harangan Sulu-Sulu.

Kesaksian putrinya tidak dapat diterima oleh Raja Bona ni Onan, yang kemudian mencari keterangan dari penduduk kampung lainnya, namun gagal mendapatkan bukti yang memadai mengenai hubungan istrinya dengan pria lain. Selama empat bulan, ia terus mencari informasi tentang kelakuan istrinya. Akhirnya, ia sekali lagi memanggil putrinya untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. Barulah Siboru Nasiap Natundal menjelaskan tentang pertemuan mereka dengan manusia ajaib di Harangan Sulu-Sulu, namun Raja Bona ni Onan tetap tidak percaya. Ia menolak untuk datang saat Si boru Pasaribu meminta bantuannya untuk memenuhi syarat-syarat tertentu demi kelahiran putranya.

Karena suaminya tidak berniat membantu menyiapkan kebutuhannya, Si boru Pasaribu terpaksa meminta tolong kepada saudara laki-laki atau hula-hula-nya. Beberapa syarat yang harus dipenuhi adalah: membuat tepung teras yang ditumbuk di alam terbuka tanpa naungan benda apapun, dan lesung yang digunakan tidak boleh dibelakangi. Selain itu, harus memasak jantung kuda, sejenis ikan sungai, beberapa jenis buah, tuak nira, dan apem. Semua makanan tersebut harus dimakan pada saat matahari sedang naik, setelah terlebih dahulu Si boru Pasaribu martonggo (bersembahyang) kepada Debata na Bolon. Setelah upacara tersebut, ia hampir tidak makan lagi hingga kelahiran putranya.

Tombak Sulu sulu
Tombak Sulu sulu<br>Goa tempat kelahiran Raja Sisingamangaraja atau yang dikenal dengan Tombak Sulu-sulu. Goa tempat kelahiran Raja Sisingamangaraja atau yang dikenal dengan Tombak Sulu-sulu<br>Source: kompas.com<br>Author: Aji YK Putra

Setelah melewati 19 bulan, akhirnya tiba saat kelahiran yang lama ditunggu-tunggu. Si boru Pasaribu meminta agar disediakan ulos Ragi idup dan pingan pasu (piring besar) untuk menadah bayi yang akan lahir. Beberapa hari sebelum kelahiran, ramalan yang disampaikan oleh makhluk ajaib di Harangan Sulu-Sulu hampir dua tahun yang lalu mulai terjadi. Pertama-tama, gempa bumi terjadi selama tujuh hari tujuh malam, diikuti dengan angin ribut dan gerhana matahari. Semua penduduk dinasehatkan untuk mengikat rumah mereka dengan bensiang. Mereka yang tidak mengikuti petunjuk itu segera merasakan akibatnya, karena rumah mereka diterbangkan angin.

Anak itu lahir seperti anak yang sudah berumur antara satu atau dua tahun. Ia sudah bergigi dan memiliki lidah, bahkan ada yang mengatakan bahwa langit-langit mulutnya berbulu dan bulu badannya tumbuh terbalik. Anak ini diberi nama Raja Manghuntal Pallabian, namun sumber lain menyebutnya sebagai Ompu Raja Manubung di Langit. Semua tingkah lakunya sangat mengherankan orang-orang yang melihatnya, karena selalu diikuti oleh keajaiban alam. Misalnya, suatu ketika ia bersama ibu dan kakaknya pergi ke Harangan Sulu-Sulu untuk mencari arabu, di sana ia bermain-main di sebuah pohon. Pada suatu saat, ia menggantungkan badannya sehingga kepalanya tergantung ke bawah. Keesokan harinya, sawah-sawah di kampung itu menjadi berantakan, karena semua bulir padi yang sudah matang terbalik menghadap ke tanah dengan akarnya ke atas. Mungkin, ia melakukan ini sebagai bentuk protes atau peringatan kepada ayahnya tentang tuduhan kejam yang diterimanya terhadap ibunya.

Pemandangan Danau Toba Dari Tombak Sulu sulu
Pemandangan Danau Toba Dari Tombak Sulu sulu<br>Tombak Sulu sulu adalah tempat kelahiran Si Singamangaraja I<br>Source: kompas.com<br>Author: Gabriella Wijaya

Peristiwa tersebut membuat ketua-ketua adat dan datu (pemuka adat) mengambil tindakan untuk mengetahui penyebab keanehan itu. Mereka membujuk Raja Bona ni Onan untuk menyelenggarakan upacara Pamanukan (melihat nujum) untuk mengetahui pesan dan kehendak Debata Mulajadi na Bolon mengenai anak ajaib yang lahir di kampung itu. Hasil dari upacara Pamanuhan tersebut adalah jawaban dari Debata Mulajadi na Bolon, yang menyatakan bahwa anak itu adalah utusan Debata untuk memerintah semua orang bermata hitam. Anak itu akan menjadi Singa ni uhum, Singa ni harajaon, dan Singa ni hata, yang artinya ia akan menjadi pembentuk atau penentu bentuk hukum, kerajaan, dan kebudayaan. Ia akan menjadi seorang raja yang sakti, dihormati tidak hanya di sekitar huta-nya dan sekitar parbiusan Toba, tetapi juga di daerah-daerah lain. Namun, yang paling penting dari hasil Pamanuhan itu adalah pembuktian kesucian ibu Raja Manghuntal Pallabian, si boru Pasaribu.

Setelah upacara Pamanuhan selesai, upacara penobatan segera dilakukan dengan persetujuan seluruh penduduk. Rakyat mempersembahkan seekor ayam jantan merah dan seekor ayam betina putih kepada raja yang baru. Kepada Debata Mulajadi na Bolon, dipersembahkan seekor hoda silintom (kuda hitam mulus). Raja yang baru kemudian melakukan tortor kerajaan di atas tujuh lapis lage tiar.

Setelah selesai melakukan tortor, raja yang baru mengumumkan namanya sebagai Si Singamangaraja. Ia kemudian bersama-sama penduduk menuju sebuah tempat bernama batu siungkapon, yang digunakan untuk memberikan persembahan kepada Debata Mulajadi na Bolon. Di atas batu tersebut, ia menyembelih kuda hitam, dan darahnya dialirkan ke dalam lubang batu siungkapon yang sangat dalam hingga menyerupai gua. Menurut kepercayaan penduduk, lubang di batu itu dapat mengalirkan darah kuda hingga mencapai banua toru atau dunia bawah. Pada saat melakukan persembahan, Si Singamangaraja menyampaikan beberapa peraturan yang berhubungan dengan asap yang keluar dari meja persembahan. Batu siungkapon tersebut hingga kini masih ada di kampung Lumban Raja Bakkara, dirawat dengan baik dan diberi pagar, karena menurut kepercayaan, siapa pun yang melangkahinya akan terkena penyakit.

Perlahan-lahan, nama Si Singamangaraja menjadi termasyhur di kalangan orang Batak, karena tindakan-tindakannya yang penuh dengan keajaiban. Arti kata nama Si Singamangaraja tidak dapat dihubungkan dengan kata "singa" yang berarti "lion" (singa), tetapi ada dua kemungkinan lain. Kata "singa" berasal dari kata maninga, yang berarti "mengukir" atau "menggambar", dan kemudian diartikan sebagai pola atau patron.

Sementara itu, kata mangaraja berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "raja yang maha agung". Kata sandang "Si" adalah kata sandang biasa, seperti dalam bahasa Indonesia, karena orang Batak biasanya menggunakan kata "si" di depan nama seseorang. Dengan demikian, arti dari kata Si Singamangaraja dapat diartikan sebagai "Raja yang agung yang menciptakan hukum dan kehidupan keagamaan".

Permainan judi pada zaman dahulu tidak dianggap sebagai tindakan tercela, melainkan sebagai sarana bagi raja-raja atau anak-anak raja untuk berkumpul dan berhandai-handai. Dalam setiap permainan judi, tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Biasanya, orang yang kalah akan berusaha untuk menebus kekalahannya, sehingga lama-kelamaan hutangnya semakin banyak. Jika ia tidak mau berhenti, ia akan membuat hutang yang makin lama makin besar. Inilah yang terjadi pada Raja Jonggi Manaor yang datang ke Bakkara untuk bermain judi. Segala harta yang dibawanya dari kampungnya di Lintong Sagala telah habis, bahkan ia telah berhutang. Untuk menebus hutangnya, ia harus mengambil harta dari kampungnya. Namun, pada masa itu, peraturan hutang menyatakan bahwa hutang barang hanya bisa dibayar dengan barang pada saat itu juga, atau orang yang berhutang harus menjadi budak sampai ia ditebus oleh keluarganya.

Raja Jonggi Manaor datang menyerahkan diri kepada Raja Manghuntal untuk memberikan jaminan agar ia tidak menjadi budak. Karena Raja Manghuntal tidak menyukai perbudakan, ia memberi jaminan kepada Raja Jonggi Manaor agar ia bisa bebas pulang ke kampungnya. Namun, ternyata Raja Jonggi Manaor tidak memenuhi janjinya untuk kembali menebus hutangnya, sehingga Raja Manghuntal terpaksa melunasi hutang tersebut. Harta benda orang tuanya habis untuk melunasi hutang itu, bahkan menurut cerita, harta tersebut masih kurang, sehingga ia terpaksa meminta bantuan dari namboru-nya (bibinya) Nai Hapatihan dari Aritonang dan Ompu Palti Boru dari Urat Samosir. Tetapi bukannya membantu, kedua bibinya itu malah marah kepada Raja Manghuntal, karena ia dianggap menghabiskan harta benda orang tuanya dengan sia-sia untuk kepentingan orang lain.

Raja Manghuntal menganggap kedua bibinya itu tidak berperi kemanusiaan, karena baginya, kebebasan seseorang lebih berharga daripada harta benda yang mudah dicari. Untuk memberi pelajaran kepada kedua bibinya itu, ia pergi kepada Raja Uti yang berdiam di Barus untuk meminjam gajah, karena Nai Hapatihan pernah mengatakan bahwa ia hanya takut kepada gajah. Gajah tersebut dibawa dari Barus ke Bakkara, lalu diteruskan ke Aritonang lewat Sigaol, Simangulampe, dan Sosor Lontung. Di Aritonang, Nai Hapatihan mati terpijak oleh gajah tersebut, namun gajah itu mati di Urat Samosir, tertimpa batu besar yang sengaja disediakan oleh Ompu Palti Boru yang telah mendengar kedatangan Raja Manghuntal dengan gajahnya. Kematian gajah itu membuat Raja Manghuntal tidak melanjutkan hukuman terhadap Ompu Palti Boru, mungkin karena ia menganggap kematian gajah itu sebagai tanda tidak setujunya Debata Mulajadi na Bolon terhadap tindakannya menghukum sampai mati namboru-nya tersebut.

Jumat, 21 Maret 2025, 04:49 | Jumat, 21 Maret 2025, 04:49 | oleh Regina

Sejarah