Logo Ebatak
Ebatak | Ensiklopedia Batak
Ensiklopedia Batak

Raja Gusar Sijabat: Parturuan anak Ompu Pansur Nabolon

Raja Gusar: anak Ompu Pansur Nabolon dan Boru Ambarita, Generasi Ke-4 marga Sijabat.


ebatak.com
ebatak.com
Ebatak | Ensiklopedia Batak

Masa Kanak-kanak di Tanah Leluhur

Si Raja Gusar dan adiknya, Panjabat, tumbuh di desa kecil bernama Lumban Sijabat, yang terletak di Ambarita, Pulau Samosir. Desa ini dikelilingi sawah dan pegunungan, tidak jauh dari Danau Toba. Suasananya tenang dan masyarakatnya menjunjung tinggi adat Batak.

Ayah mereka bernama Ompu Pansur Nabolon, kakak dari Ompu Homban Nabolon. Ibu mereka, Boru Ambarita. Keduanya merupakan keturunan Datu Parngongo, seorang tokoh adat dan pemimpin spiritual pada zamannya.

Tragedi Permintaan Hati Kerbau Jambar Horja

Di kampung halaman Si Raja Gusar akan diadakan horja bius, yaitu pesta adat besar suku Batak. Acara ini menjadi simbol kebersamaan dan penghormatan terhadap leluhur. Suara gondang sabangunan terdengar dari pagi hingga malam, mengiringi tortor dan upacara adat lainnya.

Tujuh ekor kerbau disiapkan untuk disembelih, satu ekor setiap hari. Dagingnya dibagikan kepada para tetua, keluarga, dan masyarakat yang datang. Ompu Pansur Nabolon dipercaya sebagai juru bagi jambar, yaitu orang yang bertugas membagikan daging dari atas panggung adat.

Keinginan Ibu yang Tak Terpenuhi

Boru Ambarita yang sedang hamil merasa ingin makan hati kerbau. Ia meminta anak sulungnya, Si Raja Gusar, untuk memintakan hati kerbau kepada ayahnya, yang saat itu sedang membagikan jambar.

Namun permintaan itu justru membuat Ompu Pansur Nabolon marah. Ia membentak anaknya dan melemparkan seonggok jeroan yang tidak digunakan ke dalam bakul yang dibawa Si Raja Gusar.

Si Raja Gusar menerima pemberian itu tanpa tahu isinya bukan hati kerbau. Ia mengira keinginan ibunya sudah terpenuhi, lalu pulang dengan hati senang sambil membawa bakul tersebut.

Luka Seorang Ibu dan Awal Pemberontakan

Saat membuka bakul, Boru Ambarita sangat kecewa. Ia merasa dilecehkan oleh suaminya. Perasaannya hancur, apalagi dalam kondisi mengandung. Ia merasa harga dirinya dan kehormatan keluarganya tidak dihargai.

Si Raja Gusar yang melihat ibunya menangis merasa sedih, marah, dan bingung. Ia mulai bertanya-tanya apakah tindakan ayahnya layak diterima dan apakah adat yang dijunjung selama ini sudah benar.

Malam Balas Dendam

Pada malam kedua horja bius, Si Raja Gusar menyelinap ke tempat penyembelihan kerbau. Ia mengambil sebagian hati kerbau untuk diberikan kepada ibunya. Sisanya ia gunakan untuk menyampaikan protesnya.

Ia merusak bagian dalam perut kerbau. Beberapa bagian usus ia buang jauh, dan sebagian lainnya ia gantungkan di gerbang desa dan pintu rumah adat. Tindakannya itu menjadi simbol protes terhadap perlakuan ayahnya dan sistem adat yang dianggapnya tidak adil.

Ketakutan dan Pelarian

Tindakan Si Raja Gusar membuat Boru Ambarita sangat khawatir. Ia tahu ini bukan sekadar kenakalan biasa, tapi pelanggaran adat yang berat. Hukum adat bisa sangat keras, bahkan bisa dihukum mati.

Demi melindungi anaknya, malam itu juga mereka memutuskan pergi meninggalkan kampung. Dalam gelap, mereka menyusuri jalan setapak tanpa tahu akan ke mana.

Perlindungan dari Alam

Keesokan harinya, desa Ambarita geger. Para tetua adat menemukan kerbau rusak dan tanda penghinaan tergantung di rumah adat. Pelakunya segera diketahui: Si Raja Gusar.

Warga pun mulai mencari mereka. Dengan tombak dan obor, mereka menyisir hutan. Saat sampai di daerah Jagarjagar, Si Raja Gusar bersembunyi di bawah pohon sanggar. Ibunya dan adiknya bersembunyi di bawah pohon sanduduk.

Beberapa burung hinggap di atas pohon tempat mereka bersembunyi. Karena melihat burung itu, para pengejar mengira tak mungkin ada manusia di sana, lalu mereka pergi.

Sejak saat itu, Boru Ambarita menetapkan aturan kecil untuk keturunannya: tidak boleh menyakiti atau memakan burung tekukur dan tullik, karena dianggap telah menyelamatkan mereka.

Perjalanan ke Negeri Buhit

Mereka terus berjalan selama beberapa hari. Melewati hutan, bukit, dan sungai. Mereka tidur di alam terbuka dan hanya bergantung pada kekuatan dan kebersamaan.

Akhirnya mereka tiba di Desa Salaon, Negeri Buhit. Di sana mereka disambut oleh Raja Malaupase, seorang pemimpin yang ramah dan bijak. Keluarga kecil ini akhirnya mendapat tempat tinggal yang aman dan damai.

Kelahiran Sidaboltok

Di Negeri Buhit, Boru Ambarita melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Sidaboltok, yang berarti "masih dalam kandungan" dalam bahasa Batak. Nama ini dipilih karena ia masih dalam kandungan saat mereka meninggalkan kampung halaman. Nama itu menjadi lambang perjalanan dan harapan baru.

Si Raja Gusar yang Dikenal dan Dihormati

Waktu berlalu. Si Raja Gusar tumbuh menjadi pemuda yang rajin dan berbakat. Ia mewarisi ilmu dan semangat dari leluhurnya, Datu Parngongo.

Ia ahli dalam silat, memainkan berbagai alat musik tradisional, dan juga pandai memancing di Danau Toba. Selain itu, ia dikenal ramah, rendah hati, dan mudah bergaul dengan semua orang.

Kepandaiannya dan sikapnya membuatnya dihormati di banyak desa. Ia dianggap sebagai penerus yang menjaga kehormatan keluarga dan membawa harapan untuk masa depan.

Perselisihan Dua Kakak Beradik

Di Desa Pangururan, dua saudara, Raja Sitempang II dan Raja Tinita, awalnya hidup rukun. Tapi kemudian muncul perbedaan yang menyebabkan mereka berselisih. Mungkin karena tanah atau urusan adat, mereka akhirnya berpisah. Raja Tinita pindah ke Huta Tinggi dan tinggal di Negeri Buhit.

Ancaman Baru dan Permintaan Bantuan

Setelah Raja Tinita pergi, wilayah kekuasaannya menjadi kosong. Tak lama kemudian, muncul seorang pria dari marga lain yang ingin menguasai daerah itu. Ia membawa hulubalang besar dan kuat. Raja Sitempang II merasa terancam.

Ia teringat akan Si Raja Gusar, pemuda pemberani yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Maka ia datang dan meminta bantuan. Hanya dengan keberanian dan ilmu yang dimiliki Si Raja Gusar, mereka berharap bisa menghadapi ancaman tersebut.

Kemenangan dan Ikrar Padan

Si Raja Gusar tidak takut menghadapi hulubalang musuh. Dengan kecerdasan, kekuatan, dan keahlian bertarungnya, ia berhasil mengalahkan lawan. Para pengiring musuh pun akhirnya menyerah, baik karena takut maupun kagum padanya.

Raja Sitempang II sangat berterima kasih. Sebagai balasan, ia mengangkat Si Raja Gusar secara adat menjadi bagian dari keluarganya. Ia juga memberikan beberapa bidang tanah sebagai tanda penghormatan.

Raja Sitempang II berkata:

“Anggia, ampara sidoli. Kita sudah menang melawan musuh. Untuk itu, kami ingin memberimu ingot-ingot, tanda kasih, yang perlu kita wariskan, baik kepada keturunanmu maupun kepada anak-cucu kami.”

Kemudian diucapkan ikrar adat:

“Sitanggang Bau ma hami, ba Sitanggang Gusar ma hamu, Anggia! Si sada anak si sada Boru ma hita. Si sada las ni roha nang arsak pe, jala si sada partortoron si sada adat.”

Ikrar itu ditegaskan dengan petuah adat:

Togu urat ni bulu Ompu Raja di jolo
Toguan urat ni padang Martungkothon salagundi
Togu ihot ni uhum Napinungka niompunta parjolo
Toguan ihot ni padan Ihuthonon ni parpudi

Itu adalah janji adat dan ikatan keluarga yang tidak bisa dipisahkan oleh waktu.

Nasihat Sang Ibu: Dua Nama, Satu Jiwa

Boru Ambarita merasa bangga melihat anaknya diakui secara adat. Ia teringat perjuangan mereka dulu saat harus meninggalkan kampung halaman demi keselamatan anaknya.

Kepada Si Raja Gusar, ia berpesan:

"Ingatlah, anakku! Selama engkau bermukim di Desa Pangururan, engkau dan anak keturunanmu adalah Sitanggang Gusar. Akan tetapi, jika sekali waktu engkau pulang ke tanah leluhurmu, ingat bahwa engkau dan anak-cucumu adalah keturunan Ompu Pansur Nabolon. Kakekmu adalah Raja Sijabat."

Ini menjadi pengingat bahwa identitas bisa menyesuaikan dengan adat, tapi asal usul dan darah tetap tidak berubah.

Keturunan dan Warisan Nama

Si Raja Gusar menikah dengan Boru Malau dan memiliki tiga putra: Ompu Hutamas, Ompu Dingin (Raja Oloan), dan Raja Mulia. Mereka meneruskan cerita dan garis keturunannya.

Sementara itu, dari Boru Silalahi, istri kedua Ompu Pansur Nabolon, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Datu Tala. Sedangkan adik Ompu Pansur, yaitu Ompu Homban Nabolon, memiliki tiga keturunan: Ompu Tuan Diangkat, Ompu Holbung, dan Ompu Manangkuhuk. Mereka tetap tinggal di Lumban Sijabat, Ambarita.

Enam adik Si Raja Gusar memakai marga Sijabat, yang merupakan bagian dari kelompok Siopat Ama: Toga Sidabutar, Toga Sijabat, Toga Siadari, dan Toga Sidabalok. Marga ini menjadi simbol dari hubungan kekerabatan dan nilai-nilai adat.

Gusar dan Identitas Ganda yang Dihormati

Si Raja Gusar memilih menggunakan marga Sitanggang, khususnya Sitanggang Bau, sesuai ikrar padan dengan Raja Sitempang II. Namun ia tetap mengenali dirinya sebagai keturunan Sijabat.

Dalam acara adat seperti pertemuan Siopat Ama, ia tetap diberi tempat terhormat. Ia diakui sebagai anak kandung Sijabat dan anak adat Sitanggang. Dua identitas ini melekat padanya dan diwariskan kepada keturunannya.

Raja Gusar Sijabat adalah anak dari Ompu Pansur Nabolon dan Boru Ambarita, merupakan Generasi Ke-4 marga Sijabat dan Generasi Ke-14 dari Si Raja Batak.

Raja Gusar memiliki 3 orang anak laki-laki, yaitu Ompu Hutamas, Ompu Dingin dan Raja Mulia.

Ayah dari Raja Gusar Sijabat adalah Ompu Pansur Nabolon

Ibu dari Raja Gusar adalah Boru Ambarita

Raja Gusar berasal dari Saitnihuta, Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Indonesia

Opung Suhut Doli (Kakek dari ayah) dari Raja Gusar adalah Raja Sijabat

Opung Suhut Boru (Nenek dari ayah) dari Raja Gusar Tidak ditemukan

Opung Bao Doli (Kakek dari ibu) dari Raja Gusar Tidak ditemukan

Opung Bao Boru (Nenek dari ibu) dari Raja Gusar Tidak ditemukan

Raja Gusar memiliki seorang istri, yaitu Boru Malau

Amangtua/ Amanguda dari Raja Gusar adalah Ompu Homban Nabolon, perlu diketahui, amangtua/ amanguda adalah saudara laki-laki dari ayah. Ompu Homban Nabolon adalah saudara laki-laki dari ayah Raja Gusar yaitu Ompu Pansur Nabolon. Jadi, Raja Gusar memanggil amangtua/ amanguda kepada seluruh saudara laki-laki dari ayahnya, atau anak laki-laki dari opung suhut nya, yaitu Raja Sijabat

Berdasarkan data tarombo yang tercatat di eBatak.com, Opung Suhut Raja Gusar, yaitu Raja Sijabat tidak memiliki boru. Dengan demikian, Raja Gusar tidak memiliki Namboru

Sayangnya, kita tidak dapat menemukan informasi Bonatulang dari Raja Gusar. Perlu diketahui, Bonatulang adalah tulang dari Ayah, kita sudah memiliki informasi terkait ayah Raja Gusar yaitu Ompu Pansur Nabolon. Namun kita belum memiliki informasi terkait siapa Opung Suhut Borunya (Ibu dari Ompu Pansur Nabolon), untuk menemukan siapa Bonatulang Raja Gusar kita harus mendapatkan informasi tentang Opung Suhut Borunya.

Sayangnya, kami belum menemukan informasi tentang Bonaniari dari Raja Gusar. Namun, kami telah menemukan Ibu Toga Sijabat, yaitu Boru Lumban Gaol. Tetapi kami belum mengetahui siapa orang tuanya. Bonaniari adalah tulang dari opung dari pihak Ayah. Sebagaimana diketahui, Toga Sijabat adalah opung suhut dari Ompu Pansur Nabolon, yang merupakan ayah dari Raja Gusar. Oleh karena itu, kami perlu menemukan orang tua dari Boru Lumban Gaol, karena anak laki-laki dari orang tua Boru Lumban Gaol inilah Bonaniari dari Raja Gusar.

Sayangnya, kita tidak dapat menemukan informasi Tulang dari Raja Gusar. Perlu diketahui, Tulang adalah saudara laki-laki dari ibu, kita sudah memiliki informasi terkait ibu Raja Gusar yaitu Boru Ambarita. Namun kita belum memiliki informasi terkait siapa Opung Baonya (Orangtua dari Boru Ambarita), untuk menemukan siapa Tulang Raja Gusar kita harus mendapatkan informasi tentang Opung Baonya. Sebab tulang Raja Gusar adalah anak laki-laki dari Opung Baonya

Sayangnya, kita tidak dapat menemukan informasi Tulang Rorobot dari Raja Gusar. Perlu diketahui, Tulang Rorobot adalah tulang dari Ibu, kita sudah memiliki informasi terkait Ibu Raja Gusar yaitu Boru Ambarita. Namun kita belum memiliki informasi terkait siapa Opung Bao Borunya (Ibu dari Boru Ambarita), untuk menemukan siapa Tulang Rorobot Raja Gusar kita harus mendapatkan informasi tentang Opung Bao Borunya.

Selasa, 22 April 2025, 12:20 | Selasa, 22 April 2025, 12:20 | oleh Regina

kuliner

Adat Batak

Wisata Alam

Napak Tilas

Mitologi

Sejarah