Boru Saroding Pandiangan
Boru Saroding: putri/ boru ni Ompu Parhutala dan Boru Simbolon, Generasi Ke-5 marga Pandiangan.

Si Boru Saroding menikah dengan makhluk halus bernama Guru Sodungdangon, penguasa Ulu Darat, yang berwujud ular berkaki di siang hari dan pria tampan di malam hari.
Source: ebatak.com
Author: Regina
Legenda Si Boru Saroding
Konon, ayah dari Raja Humirtap dan Raja Sumonang, yaitu Ompu Op Parhutala, berpesan agar kedua putranya kelak membangun sebuah rumah parsantian sebagai lambang kesatuan keturunan mereka. Mereka pun menyetujui pesan itu dan pergi bersama ke Gunung Ulu Darat untuk mencari kayu dan rotan sebagai bahan bangunan rumah tersebut.
Namun sebelumnya, saudari perempuan mereka yang bernama Si Boru Saroding telah meninggalkan rumah. Mereka mengira ia kawin lari dengan pria pujaannya yang belum mereka kenal. Tanpa disangka, mereka justru bertemu dengan Si Boru Saroding di tengah hutan Ulu Darat. Di sanalah mereka mengetahui bahwa ia telah menikah dengan makhluk halus penguasa Ulu Darat bernama Guru Sodungdangon. Konon, suaminya itu pada siang hari berbentuk ular besar berkaki, namun pada malam hari menjelma menjadi pria tampan.
Si Boru Saroding mengajak kedua saudaranya ke rumahnya. Mereka pun berbincang melepas rindu. Tak lama kemudian, Guru Sodungdangon pulang dari perburuan. Karena khawatir suaminya akan mencelakai saudara-saudaranya, Si Boru Saroding buru-buru menyembunyikan mereka. Namun, Guru Sodungdangon segera menyadari kehadiran manusia karena mencium aroma asing. Akhirnya, Si Boru Saroding mengakui bahwa tamunya adalah saudara kandungnya, Raja Humirtap dan Raja Sumonang.
Di luar dugaan, Guru Sodungdangon justru menyambut mereka dengan hangat. Dalam pertemuan itu, kedua raja menjelaskan tujuan kedatangan mereka—untuk mencari bahan bangunan serta meminta mas kawin atas pernikahan Guru Sodungdangon dengan adik mereka. Guru Sodungdangon pun menyanggupi permintaan tersebut, bahkan berjanji akan membantu menyediakan semua bahan yang dibutuhkan.
Setelah mempersiapkan segalanya, Guru Sodungdangon memberikan masing-masing satu hajut (keranjang pandan), sebuah tabung bambu berisi bulu ternak, serta sejengkal kayu dan sejengkal rotan. Ia pun berpesan:
- Jangan membuka isi hajut sebelum tujuh hari tujuh malam.
- Setibanya di tepi pantai dekat kampung, guncangkan tabung bulu ternak lalu lepaskan.
- Setibanya di halaman rumah, lemparkan kayu dan rotan sejengkal itu.
- Sepanjang perjalanan, jangan menoleh ke belakang.
Raja Humirtap dan Raja Sumonang pun berangkat pulang. Namun hanya Raja Sumonang yang benar-benar mematuhi semua pesan tersebut. Saat sampai di tepi pantai, mereka mengguncang dan melepaskan tabung bambu. Tabung milik Raja Sumonang berubah menjadi rombongan ternak seperti kerbau dan sapi. Tabung milik Raja Humirtap tidak berubah karena ia telah membuka isi hajut lebih dulu sebelum waktunya.
Di halaman rumah, kayu dan rotan yang dilempar berubah menjadi tumpukan bahan bangunan. Setelah tujuh hari tujuh malam, Raja Sumonang membuka hajut miliknya—isinya adalah kepingan emas murni. Hajut milik Raja Humirtap tidak menghasilkan apa-apa karena dibuka sebelum waktunya.
Kemudian, karena Raja Humirtap tidak memperoleh apapun, ia meminta bagian dari emas dan ternak milik Raja Sumonang. Namun permintaan itu ditolak, sehingga menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Akibatnya, Raja Sumonang pergi meninggalkan kampung dan saudaranya.
Sementara itu, Si Boru Saroding yang sedang mengandung berharap anaknya akan lahir seperti manusia biasa. Namun, anak yang dilahirkannya memiliki wujud seperti ayahnya—berbentuk ular berkaki. Merasa kecewa, Si Boru Saroding memutuskan meninggalkan suaminya. Saat menyeberangi danau menuju Samosir, ia tenggelam di tengah perjalanan. Tempat tenggelamnya itu kini dipercaya sebagai tempat keramat.
Hingga kini, setiap perahu atau kapal motor yang melintasi perairan antara Sabulan dan Palipi akan meletakkan sirih di haluan sebagai penghormatan kepada arwah Si Boru Saroding, agar tidak mengganggu pelayaran mereka.
Suami dari Si Boru Saroding adalah Guru Sodungdangon, seorang makhluk halus penguasa Gunung Ulu Darat. Ia dikenal memiliki dua wujud:
- Siang hari: Berwujud ular besar yang berkaki
- Malam hari: Menjelma menjadi laki-laki tampan
Guru Sodungdangon bersikap baik kepada kedua iparnya, Raja Humirtap dan Raja Sumonang, serta memberikan mas kawin berupa ternak, kayu, rotan, dan emas secara gaib. Namun, kisah cinta mereka berakhir tragis ketika anak mereka lahir dengan wujud yang serupa sang ayah, sehingga Si Boru Saroding memilih pergi dan akhirnya tenggelam di antara Sabulan dan Palipi.