Datu Sangap Nauli Haro: Parturuan anak Tagor Dilaut
Datu Sangap Nauli: anak Tagor Dilaut dan Siboru Nasangap Mataniari, Generasi Ke-2 marga Haro.

Source: ebatak.com
Author: Regina
Datu Sangap Nauli berasal dari Lualah, yang terletak di Lumban Sihiro Aritonang, Kecamatan Muara. Ia menikah pertama kali dengan boru Sinambela dari Bakara, dan mereka tinggal di Lumban Sihiro Aritonang. Dari pernikahan ini, mereka memiliki tiga anak laki-laki dan seorang putri bungsu bernama Nan Dameuluan.
Selama hidupnya, Datu Sangap Nauli dikenal sebagai seorang dukun yang hebat, namun ia juga sering berjudi. Pada suatu masa, ia sering kalah dalam permainan judi, sehingga kuda pusaka miliknya yang bernama hoda sibintang terpaksa dijual. Hal ini membuat anak-anak laki-lakinya marah, dan hubungan dengan istrinya pun memburuk. Akhirnya, Datu Sangap Nauli bersumpah di depan istrinya bahwa mereka tidak akan bertemu lagi. Dengan hati yang berat, ia meninggalkan kampungnya dan berpisah dengan putri kesayangannya, Nan Dameuluan, yang masih kecil.
Dalam perjalanan menggunakan sampan menuju Uluan (Porsea), Datu Sangap Nauli bertemu dengan seorang nelayan yang memberitahunya bahwa Raja Manurung di Lumban Huala membutuhkan bantuan karena putranya baru saja dibunuh musuh. Raja Manurung berjanji akan memberi hadiah besar. Datu Sangap Nauli menerima tantangan itu dan berhasil menyelesaikannya dengan sangat baik. Sebagai hadiah, ia meminta untuk menikahi putri bungsu Raja Manurung. Putri pertama Raja Manurung yang dinikahi Datu Sangap Nauli diberi nama Siboru Rumbang Nauli. Selain itu, Datu Sangap Nauli juga diberikan sawah dan tanah di dekat sungai Asahan, yang kemudian dijadikan Perkampungan Lumban Siharo. Di sini, ia mulai memakai marga Haro.
Meski sudah meninggalkan Aritonang, Datu Sangap Nauli masih merindukan Nan Dameuluan. Ia akhirnya menyamar untuk bertemu dengan putrinya yang sudah lama ia tinggalkan. Awalnya, Nan Dameuluan menyangka orang yang ditemuinya adalah neneknya. Namun, lama kelamaan ia sadar bahwa orang tersebut adalah ayahnya.
Pada pertemuan terakhir mereka, Nan Dameuluan meminta agar ia dibawa bersama ayahnya, tetapi permintaannya ditolak. Dengan hati yang sedih, Datu Sangap Nauli meninggalkan putrinya. Nan Dameuluan menangis dan mengikuti ayahnya yang menaiki sampan. Tidak lama setelah itu, Datu Sangap Nauli melihat putrinya melompat ke danau. Ia langsung berbalik untuk menyelamatkannya, tetapi dengan ajaib, Nan Dameuluan sudah hilang. Akhirnya, orang-orang berkata bahwa Nan Dameuluan telah berubah menjadi hantu di Danau Toba dengan nama Boru Saniang Naga.
Di Porsea, Datu Sangap Nauli mendapat seorang putra bernama Tuan Morgu. Sesuai tradisi, setelah kembali dari perantauan, ia memanjat pohon unte (jeruk nipis) untuk mengambil ramuan bagi wanita yang baru melahirkan, yang disebut bangun-bangun. Namun, saat itu ia terjatuh dan beberapa hari kemudian meninggal. Sebelum meninggal, ia berpesan kepada istrinya, boru Manurung, agar keturunannya kelak memakai marga Haro Unte dan menjadi Haro Munthe.
Setelah Datu Sangap Nauli meninggal, pusaka dan ilmu gaibnya disimpan oleh Siboru Rumbang Nauli, putri kedua dari pernikahan keduanya dengan boru Maurung. Namun, karena ketakutannya, pusaka tersebut akhirnya jatuh ke tangan adiknya, Tuan Morgu. Pusaka itu dibuang ke sungai tanpa sepengetahuan pembawanya. Siboru Rumbang Nauli kemudian memasuki peti pusaka dan berubah menjadi hantu yang berada di hulu jembatan Porsea. Ia dikenal dengan nama Siboruk Setean Nauli atau Sombaon Sipalangka. Hingga kini, kedua putri ini dianggap sangat keramat.
Keturunan Datu Sangap Nauli kebanyakan memakai marga Haro, sementara sebagian lagi memakai marga yang berasal dari kata Munte. Marga Munte berasal dari Raja Naiambaton, dan di Narumonda, Tuan Morgu memakai marga yang berarti "yang dimunthekan" dalam bahasa daerah disebut nadi muntehon. Dari sini lahirlah marga baru seperti Nadimunte, Naimunte, dan Namunte.
Beberapa keturunan Tuan Morgu kemudian memakai marga Dalimunte, Dadimunte, dan Damunte sebagai identitas keluarga mereka.