Logo Ebatak
Ebatak | Ensiklopedia Batak
Ensiklopedia Batak

Pemena: Kepercayaan tradisional Batak Karo

Kepercayaan Batak Karo: Dibata, Tendi, Begu, dan Keseimbangan Alam Semesta dalam Kehidupan Manusia


Merawat Warisan Budaya Karo yang Sarat Nilai Spiritual
Merawat Warisan Budaya Karo yang Sarat Nilai Spiritual
Masyarakat Batak Karo memandang alam semesta sebagai sebuah entitas yang terhubung secara spiritual dan penuh makna, di mana setiap elemen memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup mereka.
Source: bimashindu.kemenag.go.id
Author: Bimas Hindu

Pemena adalah sistem kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara, Indonesia. Kepercayaan ini memiliki makna "yang pertama" atau "yang awal" dalam bahasa Batak Karo, yang mengacu pada asal-usul dan dasar dari keyakinan yang dipegang oleh orang Karo. Pemena menggabungkan berbagai elemen spiritual dan budaya yang mendalam dalam kehidupan masyarakat Batak Karo.

Secara umum, Pemena mencakup ajaran tentang roh leluhur, kekuatan alam, serta hubungan antara manusia dan dunia spiritual. Dalam prakteknya, Pemena memiliki kesamaan dengan agama Hindu dalam aspek ritual, kepercayaan terhadap dewa-dewa, serta konsep kehidupan dan kematian. Oleh karena itu, dalam konteks agama-agama yang diakui di Indonesia, Pemena sering dikategorikan sebagai bagian dari agama Hindu, meskipun secara kultural dan historis ia adalah kepercayaan yang khas dan unik bagi masyarakat Batak Karo.

Pentingnya Pemena bagi masyarakat Karo bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai bagian integral dari identitas budaya mereka, yang tercermin dalam berbagai upacara adat dan tradisi yang masih dilaksanakan hingga kini.

Daftar Isi

Ilustrasi Masyarakat Karo Jaman Dahulu
Ilustrasi Masyarakat Karo Jaman Dahulu<br>Legenda tentang Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang menjadi salah satu cerita yang mengungkapkan keberadaan masyarakat umang yang tinggal di gua, dan hingga kini, bekas-bekas kehidupan mereka masih dapat ditemukan di beberapa tempat.<br>Source: pariwisata.karokab.go.id<br>Author: karokab.go.id

Batak Karo, yang berasal dari Sumatera Utara, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perpaduan antara ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito), yang dalam budaya setempat disebut sebagai umang. Legenda tentang Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang menjadi salah satu cerita yang mengungkapkan keberadaan masyarakat umang yang tinggal di gua, dan hingga kini, bekas-bekas kehidupan mereka masih dapat ditemukan di beberapa tempat.

Pada abad pertama Masehi, migrasi orang-orang India Selatan ke Indonesia, termasuk ke Sumatra, membawa perubahan besar. Mereka memperkenalkan agama Hindu, serta aksara Sansekerta dan Pallawa. Perkenalan ini mempengaruhi kebudayaan lokal, terutama dalam hal tulisan dan kepercayaan. Pada abad kelima, gelombang migrasi India berikutnya membawa ajaran Buddha dan aksara Nagari, yang kemudian menjadi cikal bakal sistem tulisan Batak, Melayu, dan Jawa kuno.

Orang-orang dari India Selatan yang datang ke Tanah Karo juga memperkenalkan ajaran Pemena, yang berarti "pertama" atau "yang awal," yang merupakan kepercayaan asli masyarakat Batak Karo. Pemena menjadi dasar ajaran spiritual dan budaya mereka. Selain itu, mereka juga memperkenalkan aksara yang kelak dikenal sebagai Tulisen Karo—sistem tulisan yang digunakan untuk menuliskan bahasa Batak Karo. Dengan ajaran Pemena dan sistem tulisan yang diperkenalkan ini, masyarakat Batak Karo mulai mengenal dan menganut agama serta tradisi ini, yang sampai sekarang menjadi bagian dari identitas budaya mereka.

Pemena, sebagai kepercayaan awal, mencerminkan hubungan masyarakat Batak Karo dengan dunia spiritual dan alam semesta, dan telah membentuk banyak aspek kehidupan sosial dan budaya mereka, termasuk dalam upacara adat, ritual, serta tradisi tulisan.

Umat Hindu Karo Gelar Ritual Erpangir Ku Lau
Umat Hindu Karo Gelar Ritual Erpangir Ku Lau<br>Dalam prakteknya, Pemena memiliki kesamaan dengan agama Hindu dalam aspek ritual, kepercayaan terhadap dewa-dewa, serta konsep kehidupan dan kematian<br>Source: harianmetro.id<br>Author: HM

Masyarakat Batak Karo memiliki pandangan yang mendalam dan kompleks tentang kekuatan spiritual yang mengatur alam semesta. Mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, adalah ciptaan Dibata, yang dalam kepercayaan mereka adalah Tuhan yang Maha Esa. Ada tiga pemahaman utama tentang Dibata menurut masyarakat Batak Karo, yaitu:

Dibata Datas (Guru Batara)
Dibata Datas adalah Tuhan yang memiliki kekuasaan atas dunia atas, atau angkasa. Ia dipandang sebagai penguasa alam semesta yang paling tinggi, yang mengatur dan menjaga segala hal yang ada di langit dan segala yang bersifat ilahi.

Dibata Tengah (Tuhan Padukah Ni Aji)
Dibata Tengah atau Tuhan Padukah Ni Aji adalah Tuhan yang menguasai dunia kita, yang disebut sebagai dunia tengah. Dibata ini berperan sebagai penguasa kehidupan manusia di bumi dan menjadi pengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Karo.

Dibata Teruh (Tuhan Banua Koling)
Dibata Teruh atau Tuhan Banua Koling adalah Tuhan yang memerintah di bagian bumi bawah. Ia terkait dengan aspek-aspek yang lebih mendalam dan rohaniah, terutama yang berkaitan dengan dunia bawah tanah atau kehidupan yang tak tampak, dan dianggap menjaga keseimbangan antara dunia atas dan dunia tengah.

Selain ketiga Dibata ini, ada dua unsur kekuatan lainnya yang memiliki peran penting dalam keyakinan Batak Karo:

Sindar Mataniari (Sinar Matahari)
Sindar Mataniari adalah simbol cahaya dan penerangan. Ia dihubungkan dengan perjalanan matahari yang terbit dan terbenam. Sindar Mataniari bertindak sebagai penghubung antara ketiga Dibata, menjaga keseimbangan di antara mereka melalui perjalanan sinar matahari, yang merupakan simbol dari kehidupan dan penerangan spiritual.

Si Beru Dayang
Si Beru Dayang adalah roh perempuan yang diyakini tinggal di bulan, sering disebut Si Beru Dayang Sinu Bulan. Ia sering muncul dalam pelangi dan dipercaya bertugas menjaga agar dunia tengah tetap kokoh dan tidak digoncangkan oleh angin topan atau kekuatan destruktif lainnya. Si Beru Dayang juga melambangkan perlindungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia.

Dengan keyakinan akan ketiga Dibata dan unsur kekuatan lainnya, masyarakat Batak Karo memandang alam semesta sebagai sebuah entitas yang terhubung secara spiritual dan penuh makna, di mana setiap elemen memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup mereka.

Penganut Pemena dalam ritual erpangir ku lau di Mata Lau Debuk-debuk
Penganut Pemena dalam ritual erpangir ku lau di Mata Lau Debuk-debuk<br>Pemena adalah sistem kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara, Indonesia.<br>Source: wacana.org<br>Author: Rachel Caroline L.Toruan

Dalam kepercayaan masyarakat Batak Karo, manusia dipandang sebagai makhluk yang terdiri dari beberapa elemen penting yang saling terhubung. Tiga elemen utama yang membentuk manusia menurut keyakinan ini adalah:

Tendi (Jiwa)
Tendi adalah jiwa atau esensi spiritual yang ada pada setiap manusia. Ia adalah inti dari kehidupan seseorang, yang menghubungkan tubuh dengan dunia spiritual. Tendi merupakan elemen yang memberi kehidupan pada tubuh fisik dan merupakan bagian yang tak tampak, tetapi sangat penting dalam kehidupan manusia.

Begu (Roh Orang yang Sudah Meninggal)
Begu adalah roh orang yang telah meninggal, sering dianggap sebagai hantu. Roh ini tetap ada setelah seseorang meninggal dan dipercaya dapat berinteraksi dengan dunia hidup, baik untuk memberi berkah atau bahkan gangguan. Kehadiran Begu adalah bagian dari pemahaman spiritual masyarakat Batak Karo tentang kehidupan setelah mati.

Kula (Tubuh)
Kula adalah tubuh fisik yang menjadi tempat bagi tendi selama hidup. Tubuh adalah bagian fisik yang terlihat dan terasa, tetapi ia hanya ada sementara waktu, dan pada saat kematian, tubuh akan hancur sementara tendi berpisah dari tubuh. Ketika tendi berpisah dengan tubuh, seseorang akan sakit, dan jika tendi tidak kembali, kematian akan terjadi.

Konsep ini menggambarkan bahwa tendi dan tubuh adalah satu kesatuan yang utuh selama seseorang hidup. Ketika tendi hilang, maka tubuh tidak lagi berfungsi dengan baik, yang bisa menyebabkan penyakit atau kematian. Pengobatan tradisional dalam masyarakat Batak Karo sering kali berfokus pada pemanggilan kembali tendi yang hilang jika seseorang sakit, sebagai usaha untuk memulihkan keseimbangan dalam diri mereka.

Masyarakat Batak Karo meyakini bahwa alam semesta ini dipenuhi oleh tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi, dan seluruh alam semesta ini, yang terdiri dari berbagai elemen spiritual dan fisik, disebut sebagai Dibata—kesatuan totalitas dari segala sesuatu di dunia ini. Sebagai bagian dari alam semesta, manusia dianggap sebagai semesta kecil yang terdiri dari:

  • Kula (Tubuh)
  • Tendi (Jiwa)
  • Pusuh Peraten (Perasaan)
  • Kesah (Napas)
  • Ukur (Pikiran)

Semua bagian ini saling berhubungan, dan keseimbangan antar elemen-elemen tersebut sangat penting. Dalam pandangan ini, manusia dipandang sebagai miniatur alam semesta, di mana keseimbangan dalam diri manusia juga mencerminkan keseimbangan alam semesta secara keseluruhan. Jika salah satu bagian terganggu, maka keseimbangan dalam diri manusia akan rusak, yang dapat berdampak pada kesehatan fisik, emosional, dan spiritual.

Pemikiran dan Tanggung Jawab Manusia
Daya pikir manusia (ukur) memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antara dunia internal (batin) dan eksternal (lingkungan sekitar). Pikiran dianggap sebagai penghubung antara manusia dengan dunia luar dan dengan kekuatan gaib. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga dengan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.

Karena itu, banyak orang Karo yang mengadakan acara adat atau ritual untuk menjaga keseimbangan ini. Acara-acara adat tersebut bertujuan untuk memelihara keharmonisan antara tubuh, jiwa, dan alam semesta, serta untuk menghubungkan dunia spiritual dengan dunia nyata. Upacara adat ini merupakan salah satu cara masyarakat Batak Karo untuk mencapai keseimbangan dalam manusia dan dalam hubungan mereka dengan dunia luar.

Kamis, 27 Maret 2025, 03:13 | Kamis, 27 Maret 2025, 03:44 | oleh Regina

Mitologi